KEWENANGAN MPR DALAM PEMBENTUKAN KETETAPAN YANG BERSIFAT BESCHIKKING TENTANG PENGANGKATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERPILIH


 

KEWENANGAN MPR DALAM PEMBENTUKAN KETETAPAN YANG BERSIFAT BESCHIKKING TENTANG PENGANGKATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERPILIH

 

Makalah ini untuk Memenuhi Syarat Mata Kuliah Lembaga Negara

Dosen : Dr. Fatmawati S.H., M.H

 

 

 

 

Oleh :

AGNES FITRYANTICA


 

 

 

 

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

KEKHUSUSAN HUKUM KENEGARAAN

JAKARTA

2020

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN.................................................................................................1

A.    LATAR BELAKANG....................................................................................1

B.    KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL.................................................9

1.     KERANGKA TEORI...............................................................................9

a.     Teori Lembaga Negara......................................................................9

b.     Teori Kewenangan Lembaga Negara..............................................14

c.     Teori Kekuasaan Negara.................................................................16

d.     Teori Ilmu Negara...........................................................................18

2.     KERANGKA KONSEPTUAL..............................................................18

a.     Kewenangan MPR..........................................................................18

b.     Ketetapan MPR..............................................................................21

c.     Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih....................23

C.  PERTANYAAN PENELITIAN..................................................................25

BAB II

KEWENANGAN MPR DALAM PEMBENTUKAN KETETAPAN TENTANG PENGANGKATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERPILIH..........26

A.    Kewenangan MPR dalam pembentukan Ketetapan sebelum

perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

tentang Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih ...............26

 

B.    Kewenangan MPR dalam pembentukan Ketetapan sesudah

perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

tentang Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih..............30

BAB III

URGENSI KEWENANGAN MPR DALAM PEMBENTUKAN KETETAPAN

YANG BERSIFAT BESCHIKKING TENTANG PENGANGKATAN PRESIDEN

DAN WAKIL PRESIDEN TERPILIH..............................................................35

A.    Analisis yuridis terhadap kewenangan MPR dalam Pembentukan Ketetapan

yang bersifat beschikking tentang  pengangkatan Presiden

dan Wakil Presiden terpilih.....................................................................35

B.    Urgensi Kewenangan MPR dalam pembentukan Ketetapan

yang bersifat beschikking tentang  pengangkatan Presiden

dan Wakil Presiden terpilih....................................................................43

BAB IV

PENUTUP

A.    SIMPULAN...........................................................................................56

B.    SARAN.................................................................................................57

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................58

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia salah satunya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia MPR RI. Pada masa sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pada awal era Reformasi (1999-2002),[1] kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang sangat besar. Hal tersebut mengacu pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan kedaulatan rakyat di negara Indonesia berada dalam satu tangan atau badan, yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat  sebagaimana yang dikemukakan oleh Mohammad Yamin pada sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945.[2]

Dengan demikian gagasan dan ketentuan tersebut, A.Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan penjelmaan seluruh rakyat dan organ yang “menggantikan” kedudukan rakyat dalam menyatakan kehendaknya Vetretungsorgan des Willens des Staatsvolkes.[3]

Namun, setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 1 ayat (2) menjadi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, tidak berlaku lagi. Institusionalisasi kedaulatan rakyat berada pada suatu lembaga, sehingga Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi menjadi jelmaan rakyat.

Dengan hilangnya penjelmaan Majelis Permusyawaratan Rakyat terhadap rakyat. Berimplikasi kepada hilangnya kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Hal ini menjadi konsekuensi dari predikatnya sebagai penjelmaan terhadap rakyat.[4]

Sebagaimana dikemukakan oleh Douglas V. Verney Dalam sistem Presidensial pada hakikatnya Majelis mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan lembaga negara lainnya. Tetapi masing-masing lembaga negara lainnya, termasuk Presiden sama-sama Independen.[5]

Hal ini menjadi perhatian bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak tepat lagi disebut Lembaga Negara tertinggi sebab hubungan antara lembaga-lembaga negara yang ada merupakan hubungan fungsional yang independen, bukan hubungan struktural yang bersifat hirarkis.[6]

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah perubahan disertai kedudukan perubahan kekuasaan yang dimilikinya. Ada dua kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihilangkan, yaitu kekuasaan untuk menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara dan kekuasaan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden diubah menjadi melantik Presiden dan atau Wakil Presiden.

Kekuasaan dari Majelis Permusywaratan Rakyat setelah Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya:

1.     Menetapkan dan megubah Undang-Undang Dasar

2.     Melantik Presiden dan atau Wakil Presiden

3.     Memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya atas usul Dewan Perwakilan Rakyat setelah ada Putusan Mahkamah Konstitusi

4.     Memilih wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan Presiden jika terjadi kekosongan Wakil Presiden

5.     Memilih Presiden dan Wakil Presiden jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.[7]

Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan ketentuan UUD 1945, pasca amandemen memiliki tugas dan wewenang baik yang bersifat rutin ataupun disebut juga institusi tetap atau permanen begitu juga wewenang yang tidak rutin. Tugas dan wewenang yang bersifat rutin dalam 5 (lima) tahun sekali adalah melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam pemilihan Umum. Begitu juga tugas Majelis Permusywaratan Rakyat yang tidak bersifat rutin meliputi: kewenangan Majelis Permusywaratan Rakyat untuk memilih pengganti untuk mengisi kekosongan jabatan wakil presiden, atau memilih presiden dan wakil presiden secara bersamaan, kewenangan untuk mengambil keputusan pemberhentian Presiden dan wakil presiden secara bersamaan, kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar. [8]

Sejak tahun 1968 Lembaga tertinggi negara telah 5 kali melakukan pemilihan Presiden. Hal ini menjadi perkerjaan rutin Majelis Permusyawaratan Rakyat, pada tahun 1993 pada masa Suharto rakyat Indonesia menghendaki agar meneruskan jabatannya. Sehingga pemilihan akan dilaksanakan secara aklamasi saja. Sesuai dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 bahwasannya Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya mensyahkan calon menjadi Presiden.[9]

Pada masa Sebelum Reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tertinggi dalam pemilihan kewenangan untuk memilih presiden dan wakil presiden dengan suara terbanyak. Sejak reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya melantik presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat terdapat dalam Pasal 6A Ayat (1). Menyangkut pelantikan Presiden dan atau wakil presiden adalah suatu kegiatan untuk memberikan legalisasi terhadap sebuah jabatan.[10]

Posisi Presiden dan wakil presiden merupakan salah satu yang terpenting khususnya dalam sistem pemerintahan Presidensial seperti Indonesia. Bahkan untuk memilih Presiden dan wakil Presiden memerlukan tenaga serta biaya yang tidak murah.

Menurut A.S.S Tambunan bahwa puncak acara pemilihan Presiden tetap menggetarkan hati karena sejak dalam diri Soekarno dahulu maupun dalam diri Soeharto Presiden sebagai Mandataris MPR, Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan oleh sebab itu pemilihan Presiden merupakan tonggak sejarah yang menentukan hari depan nusa dan bangsa.[11]

Presiden dan Wakil Presiden yang pernah memimpin negara dan bangsa Indonesia dapat dikatakan telah berhasil dengan baik.[12] Karena Presiden dan Wakil Presiden mempunyai sifat dan kepribadian yang berbeda dan patut menjadi momentum yang sangat fenomenal.

Pada masa Orde Baru ketika MPR mempunyai kedudukan dalam hal memilih Presiden dan Wakil Presiden Pasal 37 UUD 1945. Rapat paripurna pelantikan Presiden didampingi langsung oleh Ketua MPR dan didampingi oleh semua Wakil Ketua MPR dengan diiringi dan diakhiri dengan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Setelah membuka rapat Paripurna sesuai dengan ketentuan Peraturan Tata Tertib dan mengemukakan secara singkat proses pemilihan Presiden, maka Ketua MPR membacakan Ketetapan No. V/MPR/1998 tentang Pengangkatan Presiden RI. Kemudian menyerahkan Ketetapan MPR tersebut kepada Presiden/Mandataris MPR. Kemudian disusul dengan pidato penerimaan jabatan Presiden/Mandataris MPR.[13]

Wewenang MPR, sesuai dengan UUD NRI 1945 hasil perubahan kewenangan dalam melantik Presiden dan Wakil Presiden dalam hal, rangkaian acara pelantikan yang digelar dalam sidang paripurna MPR diantaranya, Ketua memimpin ritual mengheningkan cipta dan setelahnya langsung membuka sidang paripurna MPR. Acara dilanjutkan pembacaan Keputusan KPU oleh Pimpinan MPR. Kemudian pengambilan sumpah Presiden dan Wakil Presiden serta penandatanganan berita acara pelantikan dan penyerahan berita acara pelantikan oleh pimpinan MPR. Selanjutnya adalah pertukaran tempat duduk wakil presiden. Setelahnya, Presiden akan membacakan pidato sebagai presiden sesuai periode tertentu. Usai pembacaan pidato Presiden, pimpinan MPR melanjutkan sidang paripurna dan diakhiri dengan pembacaan doa sebelum sidang paripurna ditutup.[14]

Melihat hal tersebut, menurut Maria Farida UUD NRI perlu diamademen ketika MPR menetapkan dan melantik Presiden. Menurutnya sekarang ini, yang melantik adalah tidak ada. Lembaga KPU hanya mengumumkan pemenang pemilu presiden dan wakil presiden. Tetapi yang menetapkan Presiden Indonesia adalah Presiden terpilih itu sendiri. Jadi Presiden setelah masa Reformasi tidak mempunyai SK penngangkatan Presiden dan Wakil Presiden tepilih.

Melihat hal tersebut, bahwasannya lembaga KPU tidak berwenang menetapkan presiden dan wakil presiden. Sebab KPU hanya penyelenggara pemilu. KPU hanya menetapkan pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih. Selanjutnya presiden dan wakil presiden terpilih tersebut diajukan oleh KPU ke MPR untuk ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden.

Dalam hal ini, vital perannya dari fungsi presiden dan wakil presiden dalam sistem pemerintahan sudah seharusnya pengaturan yang mengatur tentang pengangkatan presiden dan wakil presiden diatur secara detail dengan pengaturan yuridis secara komprehensif.

Dalam proses pelantikan presiden dan wakil presiden hasil pemilu, MPR juga mendapatkan posisi sentral karena merupakan organ negara yang diberikan kewenangan kelembagaan oleh Undang-undang Dasar untuk melantik Presiden dan wakil presiden. Akan tetapi perdebatan mulai muncul, dan polemik yang muncul dipermukaan, khususnya dikalangan para ahli hukum tata negara. Tidak adanya Tap MPR yang berisi pengaturan presiden atau wakil presiden, sering dimaknai bahwa tidak adanya pijakan yuridis yang kuat bagi presiden dan wakil presiden untuk menjalankan roda pemerintahan.

Terlepas dari perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan pengaturan mengenai kewenangan lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat, Lemahnya sistem hukum di Indonesia belum adanya peraturan yang mengatur secara jelas yang dapat dijadikan landasan yuridis tentang pengaturan tentang pengangkatan presiden dan wakil presiden terpilih. Kewenangan yang sudah diberikan tersebut seharusnya diberikan perluasan kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk dijadikan landasan hukum pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Konsekuensi dan Perdebatan mulai muncul khususnya di bidang Hukum Tata Negara. Apakah Dampak yang terjadi ketika terjadi adanya Impeachment terhadap Presiden? apakah Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya mencabut berita acara pelantikan? Oleh Karena itu, perlu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk pengangkatan presiden dan wakil presiden terpilih.

Dengan demikian, muncul wacana untuk memberikan atau menambahkan kewenangan lembaga MPR untuk mengeluarkan Ketetapan MPR yang bersifat beschikking untuk menetapkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Dengan demikian, makalah ini akan membahas dengan judul:Kewenangan MPR Dalam Pembentukan Ketetapan yang bersifat Beschikking tentang Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih”.


B.    Kerangka Teori dan Konseptual

1.     Kerangka Teori

a.     Teori Lembaga Negara

Istilah organ atau lembaga negara dapat dibedakan sesuai dengan perkataan organ atau lembaga swasta. Lembaga swasta atau lembaga masyarakat sering disebut ornop atau dengan istilah Non Government Organisations (NGO’s). lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan.  Dalam bahasa Indonesiahal itu identik dengan lembaga negara, badan negara, ataudisebut juga dengan organ negara.[15]

 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 1997), kata “lembaga” diartikan sebagai (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa, wujud); (iii) acuan, ikatan; (iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (v) pola perilaku yang mapan yang terdiri atas interaksi sosial yang berstruktur. Lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran. Akan tetapi, seperti diuraikan di atas, baik pada tingkat nasional atau pusat maupun daerah, bentuk-bentuk organisasi negara dan pemerintahan itu dalam perkembangan dewasa ini berkembang sangat pesat.[16]

Doktrin Trias Politica dari Montesquieu mengatakan ada tiga fungsi kekuasaan negara, tapi  dengan perkembangan pesat  dari  bentuk organ-organ  pemerintah,  hal ini tentu tidak relevan lagi sebagai rujukan. Di Perancis pada abad  ke-XVI, yang pada umumnya diakui sebagai fungsi-fungsi kekuasaan negara itu ada lima. Kelimanya yaitu: Fungsi Diplomacie, Fungsi Defencie, Fungsi Financie, Fungsi Justicie, Fungsi Policie. Sedangkan John Locke membagi konsepsi mengenai fungsi kekuasaan negara menjadi empat, yaitu: Fungsi Legislatif, Fungsi Eksekutif, Fungsi Federatif. Dan empat, untuk fungsi peradilan tercakup dalam fungsi eksekutif atau pemerintahan. Berbeda dengan Montesquieu yang mempunyai latar belakang sebagai hakim, fungsi yudisial dipisahkan tersendiri, sedangkan fungsi federatif dianggapnya sebagai bagian dari fungsi eksekutif. Karena itu, dalam trias politica Montesquieu, ketiga fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas:  Fungsi Legislatif, Fungsi Eksekutif, Fungsi Yudisial.[17] Kaitannya dengan lembaga MPR trias politica Montesqieu hubungannya dengan kewenangan MPR, sebenarnya pada saat pembentukan MPR tidak dimaksudkan sebagai badan pembuat peraturan (apalagi sebagai legislatif), kecuali menetapkan dan mengubah UUD.[18]

Van Vollenhoven mempunyai pandangan yang berbeda terhadap lembaga negara, menurutnya, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasa diistilahkan dengan catur praja, yaitu: fungsi regeling (pengaturan), fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan), Fungsi rechtsspraak atau peradilan, fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan.[19]

Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ”. Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu organ. Artinya, organ negara itu tidak selalu berbentuk organik. Di samping organ yang berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat men-ciptakan norma (norm creating) dan/atau bersifat menjalankan norma (norm applying). “These functions, be they of a norm-creating or of a norm-applying character, are all ultimately aimed at the execution of a legal sanction”.[20]     

Kelsen juga mengatakan bahwa dalam pengertian luas organ negara itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat umum (public offcials). Dalam yang arti sempit organ negara dalam arti materiil, Hakim adalah organ atau lembaga negara, karena  dipilih atau diangkat untuk menjalankan fungsi tersebut. Karena menjalankan fungsinya itu, maka hakim diberi imbalan gaji dari negara. Kata Kelsen, “The State as subject of the property is the Fisc (Fiscus)”. Kekayaan negara itu berasal dari pendapatan negara, dan pendapatan itu terdiri atas imposts and taxes yang dibayar oleh warga negara. Ciri-ciri penting organ negara dalam arti sempit ini adalah:

(i)             Organ negara itu dipilih atau diangkat  untuk  menduduki  jabatan atau fungsi 

tertentu;

(ii)           Fungsi itu dijalankan sebagai profesi utama atau bahkan secara hukum bersifat eksklusif;

(iii)         Karena fungsinya itu, ia berhak untuk mendapatkan imbalan gaji dari negara.[21]

Konsep lembaga negara itu sangat luas maknanya tidak nanya terpaku pada trias politica yang terbagi atas tiga  cabang kekuasaan saja. Dalam arti yang paling luas,  pertama, organ negara paling luas mencakup setiap individu yang menjalankan fungsi law-creating dan law-applying, Kedua, organ negara dalam arti luas tetapi lebih sempit dari pengertian pertama, yaitu mencakup individu yang menjalankan fungsi law-creating atau law-applying dan juga mempunyai posisi sebagai atau dalam struktur jabatan kenegaraan atau jabatan pemerintahan; Ketiga, organ negara dalam arti yang lebih sempit, yaitu badan atau organisasi yang menjalankan fungsi law-creating dan/atau law-applying dalam kerangkastruktur dan sistem kenegaraan atau pemerintahan. Didalam pengertian ini, lembaga negara mencakup pengertian lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU,Peraturan Presiden ataupun oleh keputusan-keputusan yang tingkatannya lebih rendah, baik di tingkat pusat ataupun di tingkat daerah.  Keempat, lebih sempit lagi, organ atau lembaga negara itu hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, atau oleh peraturan yang lebih rendah. Lembaga negara yang dibentuk karena UUD misalnya adalah presiden, MPR, DPR, DPD, MK, MA, BPK, TNI, Polri,  Bank Sentral, Komisi Penyelenggara Pemilu, dan Komisi Yudisial. Yang dibentuk karena undang-undang, misalnya adalah Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha,dan sebagainya. Di samping itu, pengertian lembaga negara mencakup pula lembaganegara tingkat pusat dan lembaga negara tingkat daerah. Kelima, untuk memberikan kekhususan kepada lembaga-lembaga negara yang berada di tingkat pusat yang pembentukannya diatur dan ditentukan oleh UUD 1945, maka lembaga-lembaga seperti MPR, DPR, MA, MK, dan BPK dapat pula disebut sebagai lembaga negara yang tersendiri, yaitu lembaga negara dalam arti sempit. Karena kedudukannya yang tinggi, sekiranya lembaga-lembaga konstitusional ini hendak disebut sebagai lembaga tinggi negara juga dapat diterima. Saat ini, memang tidak dikenal lagi adanya lembaga tertinggi negara. Semua lembaga konstitusional dianggap sederajat dan hanya dibedakan dari perbedaan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Akan tetapi, untuk lembaga-lembaga negara yang kewenangannya ditentukan dalam UUD 1945, tetap relevan untuk disebut sebagai lembaga tinggi negara.[22]

Konsekuensi logis  lembaga negara adalah pemisahan kekuasaan. Cabang kekuasaan yang terpisah membutuhkan lembaga negara sebagai pelaksana. Kemudian, lahir lembaga-lembaga negara yang berkerja dibawah sistem masing-masing cabang kekuasaan artinya lembaga-lembaga ini yang menjadi organ pelaksana dari organisasi kekuasaan negara, yang dalam bahasa George Jellineck, merupakan contradiction in objecto yang dimana negara tidak memiliki organ-organ atau perlengkapan negara, maka negara menjadi tidak sesuai dengan sifatnya.[23]

Jellineck  membagi lembaga negara menjadi dua golongan besar, unmittelbareorgan (alat perlengkapan negara yang langsung) dan mittelbareorgan (alat perlengkapan negara yang tidak langsung). Melihat dari pendapatnya Jellineck bahwasannya lembaga MPR merupakan organ-organ langsung atau alat perlengkapan negara langsung yang tanpanya negara menjadi tidak ada.[24]

Terdapat permasalahan oleh alat perlengkapan negara yang dikemukakan oleh Jellineck sebagaimana dikutip Eka Nam Sihombing yaitu, Pertama alat perlengkapan negara masa saja yang menjadi condition sine quanon untuk merealisir state will. Kedua, alat perlengkapan mana saja yang karena fungsinya lalu disematkan kewenangan untuk membentuk alat perlengkapan negara selanjutnya. Ketiga, berkaitan dengan segi hukum maka persoalannya perihal bagaimana bentuknya, bagaimana pembentukannya. Keempat, pengisian jabatannya.[25]

b.     Teori Kewenangan Lembaga Negara

Menurut S.F Marbun, kewenangan (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu, maupun kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan tertentu secara bulat yang berasal dari kekuasaan legislatif maupun kekuasaan pemerintah, sedangkan wewenang (competence) hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Jadi, kewenangan merupakan kumpulan dari wewenang-wewenang.  [26]

Lembaga negara, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya yakni lembaga negara baik yang diberikan kewenangannya melalui UUD NRI 1945 maupun lembaga independen atau auxillary state bodies yang bukan merupakan cabang kekuasaan utama, pemilihan pimpinan dengan seleksi, pemilihan dan pemberhentian berdasar aturan, proses deliberasi kuat, kepemimpinan kolektif dan kolegial, kewenangan devolutif untuk self regulative dan legitimasi dari undang-undang. Dalam hal ini baik lembaga negara yang dibentuk dan diberikan kewenangan-kewenangannya oleh UUD, ada yang dibentuk atas perintah UUD (organ UUD), ada yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaaannya dari undang-undang, serta ada lembaga negara yang dibentuk melalui Keputusan Presiden. Secara sederhana, lembaga negara juga dapat diartikan sebagai organ atau badan kenegaraan yang mengemban fungsi menyelenggarakan pemerintahan negara. Organ negara atau badan negara itulah yang diberikan tugas dan fungsi mengemban dalam sistem penyelenggaraan negara.29 Lembaga-lembaga negara itu harus bersinergi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama yang ditetapkan dalam konstitusi dan peraturan perundangan di bawahnya.[27]

Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, adapula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[28]

Sebelum perubahan UUD 1945, biasa dikenal adanya istilah lembaga pemerintah, lembaga departemen, lembaga pemerintah non departemen, lembaga negara, lembaga tinggi negara, dan lembaga tertinggi negara. Dalam hukum tata negara biasa dipakai pula istilah yang menunjuk kepada pengertian yang lebih terbatas, yaitu alat perlengkapan negara yang biasanya dikaitkan dengan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial. sebelum disahkan Perubahan Pertama (tahun 1999), pengertian pemerintahan negara dalam Bab III Pasal 4 sampai dengan Pasal 15 UUD 1945 itu juga mencakup pengertian yang luas meliputi fungsi legislatif dan eksekutif sekaligus. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) yang asli yang berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.[29]

Pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945, setidak-tidaknya di tingkat pusat, dapat dibedakan 4 (empat) tingkatan kelembagaan Negara yakni

                I.         lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden;

              II.         lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang dibentuk berdasarkan undang-undang yang diatur atau ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Presiden.

            III.          lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

            IV.          lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri atau keputusan pejabat di bawah Menteri.[30]

c.     Teori Kekuasaan Negara

Kekuasaan Negara adalah Kekuasaan yang tertinggi dalam mengambil keputusan apapun untuk kepentingan Negara. Ditinjau perspektif Hukum Tata Negara, Kekuasaan Negara harus mempunyai justifikasi yakni Kekuasaan yang memiliki dasar aturan. Menurut Utrecht “Kekuasaan” gezac, authority Kekuasaan adalah istilah hukum, yang sering menampakkan diri dalam kecenderungan untuk melegalkan kepentingan sendiri dan meminggirkan kehadiran pandangan yang berseberangan.[31]

Kekuasaan dilakukan dalam menjalankan kekuasaan pada satu pihak atau lembaga dilakukan dengan cara distribusi Kekuasaan distribution of power dalam dua cara yaitu:

1.     Secara Vertikal yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatannya, dalam hal ini pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan.

2.     Secara Horizontal yaitu pembagian kekuasaan menurut fngsinya secara horizontal menunjukkan pembedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif.[32]

d.     Teori Ilmu Negara

Wodrow Wilson telah memberikan perumusan A State is a people organised for if within a definice territory, bahwasannya untuk menjamin warga negaranya maka negara itu merupakan alat untuk mempersatukan bangsanya sebagai tempat berlindung.[33]

Logeman menempatkan “jabatan“ dari aspek negara sebagai organisasi otoritas yang mempunyai fungsi yang saling berhubungan dalam suatu totalitas lingkungan kerja tertentu, sehingga negara disebut sebagai suatu perikatan fungsi-fungsi. Negara sebagai organisasi jabatan yang melahirkan otoritas dan wewenang, dan jabatan adalah bagian dari fungsi atau aktivitas pemerintahan yang bersifat tetap atau berkelanjutan.Jabatan muncul sebagai pribadi (persoon) atau subjek hukum, yang dibebani kewajiban dan dijadikan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum, akan tetapi untuk melakukan tindakan harus melalui “pejabat” atau “pemangku jabatan”. Dalam hal ini harus ada pemisahan mutlak antara pribadi pemangku jabatan selaku “pejabat” dan selaku manusia sebagai prive.[34]

2.     Kerangka Konseptual

a.      Kewenangan MPR

Setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, dengan perubahan itu, mempengaruhi struktur dan mekanisme struktural organ-organ negara Republik Indonesia yang tidak dapat lagi dijelaskan menurut cara berpikir lama. Dalam kaitannya dengan kedaulatan rakyat, Jimly Asshiddiqie mengemukakan, kedaulatan rakyat Indonesia itu diselenggarakan secara langsung dan melalui sistem perwakilan. Secara langsung, kedaulatan rakyat itu diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang tercermin dalam MPR yang terdiri dari DPR dan DPD. Kedudukan MPR yang terdiri dari dua lembaga perwakilan itu adalah sederajat dengan Presiden, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Dengan adanya prinsip cheks and balances ini, maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi dan bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya.[35]

Kewenangan MPR sebelum dan sesudah amandemen UUD NRI 1945 mengalami perubahan dipengaruhi oleh kedudukan MPR, Kedudukan MPR Sebelum adanya amandamen,  kedudukan MPR berdasarkan UUD 1945 merupakan lembaga tertinggi negara dan sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Artinya, kekuasaan dilakukan sepenuhnya oleh MPR sehingga tidak terjadi check and balances. [36]Setelah amandemen, MPR tidak memiliki lagi kewenangan menetapkan GBHN dan tidak lagi mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR), kecuali berkenaan dengan menetapkan Wapres apabila terjadi kekosongan Wapres, atau memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Setelah amandemen, MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.[37]

Kewenangan MPR sebelum perubahan UUD NRI 1945 yaitu:Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga   negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut, Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar, Mengubah undang-Undang Dasar, Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis, Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota, Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji anggota.[38]

Kewenangan MPR sesudah amandemen UUD NRI 1945, menetapkan dan mengubah UUD, Melantik presiden dan/atau wakil presiden, Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden  dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, Memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan    partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pemilu sebelumnya sampai berakhir masa jabatannya, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.[39]

b.      Ketetapan MPR

Tap MPR merupakan sumber hukum dan berada dalam hierarki perundang-undangan yang berlaku. UUD 1945 merupakan hukum dasar yang memberikan legal consequence bahwasannya setiap materi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan materi-materi yang terdapat dalam UUD 1945. Menurut A. Hamid S. Attamimi, Ketetapan MPR termasuk ke dalam Staatsgrundgesetz bersama UUD 1945 dan Konvensi Internasional.33 Namun, pendapat Attamimi ini lebih cocok untuk UUD 1945 (sebelum amandemen), yang memposisikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang memiliki tugas memegang kedaulatan rakyat. Menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, disebutkan bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaran Rakyat”. Pelaksanaan kedaulatan rakyat secara totalitas oleh MPR menjadikan MPR memiliki kewenangan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berkonsekuensi hukum adanya Ketetapan MPR sebagai salah satu peraturan perundang-undangan karena memuat pengaturan (regeling). Harun Al-Rasyid berpendapat bahwa Tap MPR tidak dapat dijadikan sebagai peraturan perundang-undangan atau memuat hal-hal yang bersifat pengaturan (regeling), oleh karena itu Tap MPR hanya sebatas berisi penetapan (beschiking).[40]

Jimly Asshiddiqie, mengemukakan ketetapan MPR disebut juga putusan sidang majelis untuk menyebut hasil keputusan yang ditetapkan dalam sidang-sidang majelis. Kata “putusan” oleh MPR dimaksud sebagai genus atau pengertian umum dengan bentuk-bentuk spesies yang terdiri dari berbagai ketetapan, dan nama resmi dari putusan tersebut adalah Ketetapan. Jadi dapat disimpulkan bahwa Ketetapan MPR berbeda dengan keputusan pengadilan yang bersifat administratif (beschikking). Pasca perubahan UUD 1945, MPR dianggap tidak lagi mempunyai kewenangan membentuk peraturan atau regeling, bahkan tidak pula berwenang membahas ketetapan-ketetapan yang pernah dibuatnya sendiri dalam pesidangan paripurna MPR.[41] Hal ini terjadi karena adanya perkembangan Ketatanegaraan Indonesia dimana kedudukan MPR menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasca perubahan bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara dan sudah tidak lagi membentuk GBHN, oleh sebab itu MPR tidak lagi menetapkan Produk hukum yang bersifat mengatur regelling, kecuali dalam bentuk UUD atau perubahan UUD dan produk hukum yang tidak bersifat mengatur, administratif, atau internal.[42]

c.       Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden terpilih

Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden terpilih terdapat pada acara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden yang satu-satunya kewenangan dari MPR yang bersifat rutin dan berkala. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu:

1.     Pelantikan Presiden dan atau Wakil Presiden tidaklah dilakukan oleh atasan kepada bawahan. Menurut ketentuan Pasal 9 UUD 1945, Presiden dan atau Wakil Presiden mengucapkan sendiri sumpah atau janji jabatannya didalam dan dihadapan sidang MPR. Peranan ketua sidang MPR hanya membuka dan menutup sidang, dengan demikian Pelantikan Presiden dan atau wakil Presiden oleh MPR dianggap telah dilaksanakan.

2.     Forum sidang MPR sebagai wahana pelantikan presiden dan atau Wakil Presiden itu hanya bersifat Fakultatif. Artinya, kegiatan pelantikan Presiden dan atau Wakil Presiden itu tidak mutlak harus dilakukan dalam sidang MPR, melainkan dapat pula dilakukan dalam sidang atau paripurna DPR, apabila MPR ternyata tidak dapat bersidang. Bahkan apabila MPR dan DPR sama-sama tidak dapat bersidang, maka pelantikan juga dapat dilakukan dihadapan pimpinan MPR atau DPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.[43]

Pada saat Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia belum mempunyai Presiden atau kepala negara. Sehari setelahnya tanggal 18 Agustus 1945 diselenggarakan pemilihan Presiden. Pemilihan Presiden dilakukan menurut Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945, yang hanya berlaku sekali. kendatipun karena waktu yang genting dan Lembaga MPR pun belum terbentuk. Pemilihan dan pengangkatan pada saat itu dilakukan sangat Praktis dan Sederhana. [44]

Pasal 3 UUD 1945 setelah perubahan mengatur kewenangan lembaga dalam hal pelantikan Presiden, Pelantikan Presiden adalah moment langka dalam hal untuk mengangkat presiden dan wakil presiden, tetapi dalam pelantikan tersebut banyak hanya terdapat pengucapan sumpah atau janji presiden dan wakil presiden.[45]

  1. Pertanyaan Penelitian

1.     Bagaimana Kewenangan MPR dalam pembentukan Ketetapan sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih?

2.     Bagaimana Urgensi Ketetapan MPR yang bersifat beschikking tentang  pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden terpilih?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

KEWENANGAN MPR DALAM PEMBENTUKAN KETETAPAN TENTANG PENGANGKATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERPILIH

A.    Kewenangan MPR dalam pembentukan Ketetapan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih

Secara eksplisit kekuasaan MPR yang dengan tegas tercantum dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah:

1.     Pasal 3 Menetapkan UUD

2.     Pasal 37 Mengubah UUD

3.     Pasal 3 Menetapkan Garis Besar Haluan Negara

4.     Pasal 6 Memilih Presiden dan Wakil Presiden[46]

Pasal 3 UUD 1945, menyebutkan “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis besar haluan dari pada haluan Negara”. Karena MPR memegang kedaulatan negara maka kekuasaannya terbatas. Aturan tambahan ayat (2) dipandang sebagai ketentuan yang dipisahkan dan dipandang sebagai dasar suatu perintah kepada MPR bahwa dalam enam bulan sesudah pembentukannya, untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.[47]

Tugas dan wewenang MPR dibidang Garis-Garis besar Haluan Negara (GBHN), merupakan garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat yang mempunyai landasan idiil Pancasila serta UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Tugas Formal MPR dalam hal GBHN Pasal 3 UUD 1945,  hanyalah langkah-langkah pokok yang harus dilaksanakan pemerintah. GBHN merupakan amanat rakyat, dalam arah mencapai terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Hal ini yang menjadi fungsi alat pengontrol Presiden terhadap tindakan dan kebijaksanaan Presiden/Mandataris MPR. Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 3 UUD 1945 GBHN harus ditetapkan oleh MPR sebagai majelis yang memegang kedaulatan negara.[48] Ketetapan tersebut harus merupakan ketentuan-ketentuan pokok yang dapat mencerminkan keinginan dan sekaligus pernyataan keseluruhan rakyat. Terdapat dua jenis kedudukan  hukum GBHN kaitannya dengan Ketetapan MPR yaitu:

1.     Ketetapan MPR yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh MPRS dan GBHN hasil pemilihan umum

2.     Dan Ketetapan MPR yang telah dikeluarkan mulai tahun 1960 hingga 1968, yaitu pada masa orde lama maupun orde baru.[49]

 Kewenangan MPR dalam UUD 1945, tidak dikenal istilah Ketetapan MPR (TAP MPR). Bentuk TAP MPRS tumbuh dalam praktik ketatanegaraan, sejak MPRS bersidang pertama kali tahun 1960 yang bersumber dari Pasal 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berwenang untuk menetapkan UUD, garis-garis besar haluan negara dalam arti luas, memilih Presiden dan Wakil Presiden. Berkaitan dengan kewenangannya kemudian dikenal produk MPR yaitu Ketetapan MPR (atau pada masa MPRS disebut ketetapan MPRS/ TAP MPRS). Ketetapan MPR adalah bentuk produk legislatif yang merupakan keputusan musyawarah MPR, yang ditujukan keluar (dari Majelis). Pasal 102 Ketetapan MPR No. 1/MPR/1973 tentang Peraturan Tata Tertib MPR ditentukan tentang bentuk-bentuk Keputusan MPR: Pertama, Ketetapan MPR yaitu putusan MPR yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam Majelis; Kedua, Keputusan MPR yaitu putusan MPR yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam Majelis.  Dikeluarkannya TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia semakin menegaskan kedudukan TAP MPRS dalam tata urutan peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam Lampiran II TAP MPRS tersebut mencantumkan muatan dari Ketetapan MPR yaitu memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif dilaksanakan dengan undang-undang dan memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif dilaksanakan dengan Keputusan Presiden. [50]Sedangkan dari segi substansi, Ketetapan MPR memiliki isi mengatur (regeling) dan merupakan keputusan (beschikking). [51]

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 UUD 1945, selain menetapkan Undang-Undang Dasar, MPR juga berwenang menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara. Garis-garis besar daripada haluan negara, khususnya Pola Umum Pembangunan Lima Tahun (GBHN), dituangkan dalam Ketetapan MPR. Sebagaimana telah dipahami, Undang-Undang Dasar merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang derajatnya tertinggi dalam petala peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketetapan MPR dan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan peraturan untuk menjabarkan ketentuan Undang-Undang Dasar.[52]

Menurut Hernadi, alasan munculnya Ketetapan MPR pada saat itu yaitu akibat adanya kekosongan hukum dalam UUD 1945. Seperti diketahui, UUD 1945 hanya berisi materi muatan yang sifatnya pokok dan fundamental, sedangkan kebutuhan akan pengaturan aspek kehidupan ketatanegaraan masih banyak terjadi kekosongan karena tidak diatur dalam UUD 1945.[53]

Salah satu tugas pokok MPR secara rutin dalam keadaan ketatanegaraan adalah memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan Pasal 6 ayat 2 UUD 1945 bahwasannya sepenuhnya wewenang MPR dan karena itu MPR juga berwenang mengatur tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan menentukan pejabat negara yang berwenang menggantikannya apabila Presiden dan Wakil Presiden berhalangan.[54] Ketetapan MPR No. II/MPR/1973 tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara terpisah, dan terlebih dahulu Presiden terpilih bersumpah atau  berjanji dihadapan Majelis dan setelah itu pemilihan Wakil Presiden. Tata cara pemilihan Presiden mulai dari Proses Pencalonan, sesuai dengan Kriteria Syarat Menjadi Calon Presiden, Kuorum dengan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis, sehingga terpilih melalui tata cara pemilihan kemudian diangkat menjadi Presiden melalui satu Ketetapan MPR dan segera mengucapkan sumpah atau janji dihadapan Majelis. Begitupun dengan Wakil Presiden dilakukan halnya pemilihan seperti Presiden.[55]

B.    Kewenangan MPR dalam pembentukan Ketetapan sesudah perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.

Setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945, MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara karena berdasarkan sistem check and balances. Akibat adanya perubahan status dan kedudukan MPR tersebut membawa pula konsekuensi terhadap kewenangan MPR dalam pembentukan produk hukum.[56]

Kewenangan yang dimiliki MPR saat ini menurut UUD NRI Tahun 1945 hasil perubahan adalah:

1.     Melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilihan Umum

2.     MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR.

3.     Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya

MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden diusulkan oleh DPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai Pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul dari DPR dilengkapi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi maupun perbuatan tercela.[57]

4.     Pasal 3 ayat (2) setelah amandemen UUD 1945 Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden, tugas rutin selama lima tahun sekali mengangkat Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Ketentuan Konstitusi yang bersifat escape clausule agar terdapat jaminan keberlangsungan kepemimpian nasional dan mencegah terjadinya kevakuman kekuasaan negara.[58]

5.     Pasal 3 ayat (3) setelah Amandemen UUD 1945, Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan Wakil Presiden samai berakhir masa jabatannya.

Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang Paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh diadapan rapat paripurna DPR. Jika DPR tidak mengadakan rapat maka Presiden bersumpah dihadapan oleh pimpinan Mahkamah Agung.

6.     Memilih Wakil Presiden

Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 hari untuk memilih Wakil Presiden dari 2 calon yang diusulkan oleh Presiden pada masa jabatannya.

7.     Memilih Presiden dan Wakil Presiden

Apabila Presiden dan Wakil Presiden tidak bisa melakukan kewajibannya pada waktu bersamaan pada masa jabatannya, MPR menyelenggarakan sidang Paripurna paling lambat 30 hari, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik dengan suara terbanyak pertama dan kedua pada pemilu sebelumnya.[59]

Secara umum, saat ini UUD NRI Tahun 1945 sudah memasukkan berbagai aspek terkait dengan materi muatan yang sebelumnya diatur dalam TAP MPR ke dalam UUD NRI Tahun 1945. Dengan kata lain, materi muatan UUD NRI Tahun 1945 telah menampung semua TAP MPR yang bersifat mengatur yang pernah ada. Artinya, sejak perubahan UUD NRI Tahun 1945 hampir tidak ada kebutuhan lagi untuk mengatur aspek-aspek tersebut dalam bentuk TAP MPR karena sudah menjadi materi muatan UUD NRI Tahun 1945.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dilihat bahwa Ketetapan-Ketetapan MPR masih diperlukan untuk hal-hal yang diperintahkan UUD Negara RI Tahun 1945 seperti penetapan keberlakuan UUD, penetapan pengangkatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan penetapan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.[60]

 Berdasarkan penjabaran yang telah disampaikan sebelumnya, dapat dilihat bahwa MPR saat ini masih dapat mengeluarkan produk hukum namun tidak bersifat mengatur secara umum masyarakat luas. Sebabnya ialah karena MPR hasil Pemilu 2004 dan seterusnya merupakan lembaga negara yang mempunyai status kelembagaan yang berbeda kewenangan-kewenangan konstitusionalnya dibandingkan dengan MPR sebelumnya. [61]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

URGENSI KEWENANGAN MPR DALAM PEMBENTUKAN KETETAPAN YANG BERSIFAT BESCHIKKING TENTANG PENGANGKATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERPILIH

C.    Analisis yuridis terhadap kewenangan MPR dalam Pembentukan Ketetapan yang bersifat beschikking tentang  pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden terpilih

Amandemen UUD NRI 1945 telah memberikan pengaruh besar terhadap sistem ketatanegaraan termasuk kewenangan MPR RI, sebelum perubahan, kewenangan MPR RI meliputi: menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN), memilih presiden dan wakil presiden, mengubah Undang-Undang Dasar. Setelah amandemen, beberapa kewenangan tersebut dihilangkan dan hanya terbatas pada: mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar, melantik presiden dan wakil presiden, dan memberhentikan presiden atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.

Sebelum amandemen UUD tahun 1945, MPR RI berwenang menetapkan GBHN. Maka, konsekuensi dari pelaksanaan ketentuan tersebut ialah lahirnya TAP MPR(S) sebagai salah satu pengaturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regelling). Ada sekitar 139  Tap MPR yang telah berhasil ditetapkan. Ketetapan tersebut menjadi pedoman yang memandu perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara serta menjadi peraturan perundang-undangan dibawah UUD. [62]

Setelah amandemen, MPR RI tidak lagi berwenang membuat ketetapan yang bersifat mengatur. MPR RI hanya bisa membuat ketatapan yang bersifat keputusan (beshicckking) yang konkrit dan individual. Sejumlah ketetapan yang ada sebelumnya pun diberikan status hukum baru sebagaimana ditetapkan dalam Tap MPR Nomor I/MPR/2003 tentang peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR RI Tahun 1960-2002. Melalui ketetapan itu sebagian Tap MPR ada yang dinyatakan tetap berlaku dan ada pula yang tidak berlaku. Namun demikian, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan peundang-undangan tetap menempatkan Tap. MPR yang berlaku dalam tata urutan peraturan perundang-undangan dibawah UUD.[63]

Setelah terjadinya perubahan UUD NRI Tahun 1945 dan terbentuknya MPR hasil pemilihan umum (pemilu) tahun 2004 kewenangan MPR untuk menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara telah hilang yang berarti MPR tidak lagi akan mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang bersifat mengatur. Namun demikian, MPR masih bisa mengeluarkan produk hukum berupa keputusan yang bersifat penetapan administratif.

Berdasarkan penjelasan dari Moh. Mahfud MD bahwa setelah perubahan UUD 1945, Tap MPR tidak lagi menjadi peraturan perundang-undangan dan telah diberi status baru sesuai dengan masing-masing isinya. Dengan demikian, untuk selanjutnya tidak boleh lagi ada Tap MPR yang bersifat mengatur sebagai peraturan perundang-undangan. Meskipun begitu, Tap MPR tetap saja boleh ada dan dikeluarkan oleh MPR, tetapi terbatas hanya untuk penetapan dengan sifat beschikking (konkret dan individual) seperti Tap tentang Pengangkatan Presiden, Tap tentang Pemberhentian Presiden, dan sebagainya.[64]

Dapat diperhatikan bahwa satu-satunya produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) yang termasuk lingkup kewenangan MPR dewasa ini adalah produk Perubahan UUD 1945. MPR pasca reformasi memang tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menetapkan peraturan di luar perubahan Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, mulai sejak terbentuknya MPR hasil Pemilihan Umum tahun 2004, tidak akan ada lagi produk hukum yang berisi norma yang mengatur yang ditetapkan oleh MPR, selain dari produk Perubahan UUD 1945.[65]

 Ketetapan MPR/S sebelum MPR hasil pemilu 2004 berisi norma hukum yang bersifat mengatur (regeling), namun Ketetapan MPR saat ini hanya berisi norma hukum yang bersifat administratif (beschikking). Ketetapan MPR yang bersifat mengatur hanya sepanjang yang menyangkut ketentuan Tata Tertib MPR yang berlaku ke dalam. Namun demikian, mengingat semua lembaga negara juga mempunyai kewenangan regulasi yang bersifat internal, dan semuanya menggunakan istilah peraturan, maka ketentuan mengenai tata tertib MPR juga dituangkan dalam bentuk hukum yang disebut Peraturan.[66]

 Di dalam Pasal 102 Peraturan MPR RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib MPR RI menyatakan bahwa:

1.     Jenis keputusan MPR sebagai berikut: a. Mengubah dan Menetapkan Undang-Undang Dasar; b. Ketetapan MPR; c. Peraturan MPR; d. Keputtusan MPR

2.     Selain jenis keputusan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup juga keputusan yang ditetapkan oleh alat kelengkapan, Badan, dan Lembaga di lingkungan MPR berdasarkan pada Keputusan Rapat Gabungan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 90 Peraturan MPR RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib MPR RI, pembuatan keputusan MPR dilakukan melalui 3 (tiga) tingkat pembicaraan sebagai berikut:

a.       Tingkat I

Pembahasan oleh Sidang Paripurna MPR yang didahului oleh penjelasan Pimpinan MPR dan dilanjutkan dengan Pemandangan Umum Fraksi dan Kelompok DPD.

b.        Tingkat II

 Pembahasan oleh Panitia Ad Hoc terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I dan hasil pembahasan pada tingkat II ini merupakan rancangan keputusan MPR.

c.        Tingkat III

Pengambilan keputusan oleh Sidang Paripurna MPR setelah mendengar laporan dari Pimpinan Panitia Ad Hoc dan bilamana perlu dengan kata akhir dari Fraksi dan kelompok DPD.

MPR hanya dapat menetapkan ketetapan yang bersifat penetapan, yaitu menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres, serta memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2003, MPR menetapkan Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.[67]

Menurut Badan Pengkajian MPR RI, setelah 16 tahun pasca amandemen UUD tahun 1945 muncul wacana penguatan kelembagaan MPR RI, salah satunya, malalui pemberian kembali kewenangan MPR RI untuk membuat ketetapan yang bersifat mengatur. [68] hanya berlaku Ketetapan MPR yang bersifat beschikking, dalam hal, kewenangan MPR mengenai Pelantikan.

 Presiden dan wakil presiden tidak ditemukan Ketetapan MPR, menurut Bayu Dwi Anggono, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, mengawali penjelasannya kepada hukumonline bahwa Presiden dan Wakil Presiden ini mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Majelis Persmusyaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebelum memangku jabatannya.

Pasal 33 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 jo. No.42 Tahun 2014 jo. No.2 Tahun 2018 jo. No.13 Tahun 2019 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Ketentuan hukum tata negara pasca amandemen konstitusi era reformasi telah menempatkan lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat sejajar dengan lembaga kepresidenan. Tidak tepat untuk mengatakan Presiden RI pasca amandemen dilantik oleh MPR. Presiden dan Wakil Presiden hanya disaksikan dalam pengucapan sumpah jabatannya itu oleh MPR. Dapat dikatakan bahwa konstitusi hanya mengatur durasi periode jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama lima tahun.

UUD 1945 adalah periode tersebut harus diawali dengan mengucapkan sumpah jabatan di hadapan MPR atau DPR. Berakhirnya masa jabatan Presiden sebelumnya, agar tidak terjadi kekosongan jabatan Presiden, sejarah pergantian masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia sejak era Presiden Gus Dur. Tepat 20 tahun lalu, Gus Dur mulai menjabat pada 20 Oktober 1999 setelah memenangkan pemilihan Presiden yang masih dilakukan oleh MPR. Bahwa saat Gus Dur mengucapkan sumpah jabatan Presiden, belum terjadi amandemen UUD 1945. Saat itu Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Supremasi MPR saat itu menempatkannya lebih tinggi dari Presiden dan Wakil Presiden. Gus Dur dipilih oleh MPR sebagai Presiden pada 20 Oktober 1999 dan langsung dilantik oleh MPR pada hari yang sama.

Setelah Amandemen UUD NRI 1945, kewenangan MPR RI dalam pelantikan Presiden untuk mengangkat Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi hajat MPR setiap 5 tahun sekali yaitu dengan agenda acara pelantikan yang terjadi di Indonesia. Dari awal acara Sidang Paripurna MPR dengan agenda tunggal pelantikan Presiden dan Wakil Presiden masa jabatannya. Sidang Paripurna Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan dilanjutkan dengan mengheningkan cipta dipimpin oleh Ketua MPR. Setelah itu, pembukaan Sidang Paripurna oleh Ketua MPR. Berikutnya, pembacaan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh Pimpinan MPR. Setelah pembacaan keputusan KPU, dimulailah prosesi Pengucapan Sumpah Presiden dan Pengucapan Sumpah Wakil Presiden. Setelah pengucapan sumpah, dilanjutkan dengan penandatanganan Berita Acara Pelantikan. Kemudian Pimpinan MPR menyerahkan Berita Acara Pelantikan. Acara dilanjutkan dengan pertukaran tempat duduk Wakil Presiden.

Menurut Maria Farida, selama ini presiden dan wakil presiden yang terpilih tidak memiliki Tap MPR untuk pelantikan. Selama ini hanya ada berita acara pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Kendatipun terjadi pelanggaran oleh Presiden maka bisa dilakukan Impeachment. Maka dari itu, perlu Tap MPR untuk pengucapan sumpah presiden dan wakil presiden terpilih dan Surat Keputusan. Karena berita acara pelantikan tidak mempunyai legalitas sebagai produk perundang-undangan.[69]

Pelantikan Presiden merupakan kewenangan satu-satunya yang bersifat rutin dan dapat direncanakan lima tahunan. Menurut Pasal 9 ayat (1) dan (2) UUD 1945, sidang MPR bersifat fakultatif. Pengucapan sumpah janji presiden dapat dilakukan dihadapan atau didalam sidang MPR atau sidang DPR dengan kata lain, tidak ada satu pun keempat kewenangan MPR bersifat tetap, sehingga memerlukan alat-alat perlengkapan organisasi yang juga bersifat tetap[70]. Artinya MPR sendiri harus lah mengeluarkan produk Undang-Undang yaitu ketetapan MPR yang bersifat beschikking agar lembaga MPR tidak hanya menjadi tuan rumah saja dalam hal, pelantikan presiden dan wakil presiden harus terdapat hasil dari lembaga tersebut terhadap agenda pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.

Menurut UUD 1945, Dalam hal pemberhentian terhadap Presiden menyebutkan kewenangan MPR melalui penetapannya (Beshickking) bisa dilakukan. Walaupun TAP MPR yang bersifat pengaturan (regelling) sudah tidak berlaku bukan berarti meniadakan eksistensi normanya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hanya saja menegaskan sifat TAP MPR yang lebih mengarah terhadap penetapan (Beshickking). Keberadaan Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengakibatkan TAP MPR secara otomatis (ex-officio) menjadi rujukan dalam pembentukan dan penetapan ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka dari itu diperlukan perluasan kewenangan MPR. Pembentukan Ketetapan MPR menjadikan lembaga MPR dapat dikatakan exist ketika menjalankan fungsi dan kewenangan yang diberikan oleh UUD. Pembentukan Ketetapan MPR yang bersifat beschikking tentang pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden sudah sangat diperlukan karena hanya Ketetapan tersebut yang bisa mengikat Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

D.    Urgensi Kewenangan MPR dalam pembentukan Ketetapan yang bersifat Beschikking tentang  pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden terpilih

Lembaga MPR, jika dilihat dari teori Jellineck termasuk jenis organ negara yang langsung (unmittebar organ). Dimana  pembentukan organ negara tersebut diberikan langsung dalam konstitusi, dan menentukan keberadaan negara. Terkait hal tersebut, pemahaman mengenai konsep lembaga negara berdasarkan pada fungsi klasik dari negara menurut teori trias politika telah bergeser pada peran negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan secara aktual. [71]

UUD 1945 menggunakan istilah lembaga negara di dalam Pasal II Aturan Peralihan. Ditentukan bahwa “Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk menjalankan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”[72]

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam perubahan UUD Tahun 1945, maupun UU No.22 Tahun 2003, maka secara kelembagaan jelas bahwa MPR adalah merupakan lembaga yang permanen, bukan sebagai sidang gabungan (joint session). Kepermanenan lembaga tersebut sebagai akibat adanya perangkat-perangkat penuh sebagai sebuah lembaga yakni; adanya kelengkapan administrasi dan organisasional anggota indifidu, kesekretariatan tersendiri untuk menjalankan fungsinya, mempunyai aturan-aturan tersendiri yang mengatur masalah internal lembaga tersebut, serta memiliki sistem penganggaran sendiri[73]

Montesquieu dalam trias politica dalam fungsi legislatif mengemukakan bahwa legislator membuat UU dan UUD (pada saat negara baru terbentuk atau negara setelah keadaan chaos). Sehingga MPR adalah legislator.  Kemudian legislator sekalian membentuk juga mengubah dan mengawasi pelaksanaan UU.  Sehingga tidak hanya fungsi legislasi tapi juga fungsi pengawasan. Melihat hal tersebut, bahwasannya MPR dalam hal melaksanakan kewenangannya mempunyai fungsi pengawasan dalam bentuk kewenangan memberhentikan Presiden walau bukan hal administratif tapi memerlukan sistem administrasi dimana pemberhentian dilakukan setelah adanya pengangkatan terlebih dahulu.

Menurut Bagir Manan, tidak tepat MPR menetapkan berbagai peraturan atau regulasi di luar wewenang yang telah ditetapkan UUD. Namun demikian, MPR dianggap berwenang membuat produk hukum yang bersifat mengatur yang dikenal dengan nama Ketetapan MPR setelah perubahan UUD 1945, perubahan status dan kedudukan MPR tersebut membawa konsekuensi terhadap kewenangan MPR dalam pembentukan produk hukum.[74]

Ketetetapan dan keputusan secara Konsepsional sama sekali tidak memiliki perbedaan.[75] Ketetapan atau keputusan yang berarti beshickking. Berdasarkan definisi-definisi yang diberikan beberapa sarjana, S.F. Marbun dan Moh. Mahfud MD., menyimpulkan beberapa unsur dari ketetapan, antara lain:

1.      Merupakan perbuatan hukum publik yang bersegi satu atau perbuatan sepihak dari pemerintah dan bukan merupakan hasil persetujuan oleh dua belah pihak;

2.      Sifat hukum publik diperoleh dari/berdasarkan wewenang atau kekuasaan istimewa; dan

3.      Dengan maksud terjadinya perubahan dalam lapangan hubungan hukum.[76]

Dalam rangka menilai seberapa besar manfaat penempatan kembali Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan, perlu diketahui dahulu maksud pengaturan dalam rezim hierarki peraturan perundangundangan di bawah UU Nomor 12 Tahun 2011. Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b disebut secara jelas bahwa yang dimaksud dengan Tap MPR dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. [77]

Secara sekilas perlu diketahui bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 merupakan perwujudan dari amanat Pasal I Aturan Tambahan UUD NRI Tahun 1945.   Tap MPR a quo merupakan bentuk evaluasi materi dan status hukum Tap MPR/S yang ada sejak tahun 1960 sampai tahun 2002. Di dalam Tap MPR a quo terdiri dari 6 pasal yang masing-masing mengelompokkan Tap MPR/S menurut status keberlakuannya, yaitu:

1.     Pasal 1 (8 Ketetapan) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2.      Pasal 2 (3 Ketetapan) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah ini dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan masing-masing sebagai berikut.

3.     Pasal 3 (8 Ketetapan) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah ini tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004.

4.      Pasal 4 (11 Ketetapan) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah ini tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang.

5.     Pasal 5 (5 Ketetapan) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud di bawah ini dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib yang baru oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia hasil pemilihan umum tahun 2004.

6.     Pasal 6 (104 Ketetapan) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang disebutkan di bawah ini merupakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.[78]

Ketetapan MPR pada UUD 1945, Pertama, Tap MPRS/MPR bersifat mengatur dan memberikan tugas kepada presiden. Kedua, Tap MPRS/MPR bersifat penetapan (beschikking). Ketiga, Tap MPRS/MPRS yang bersifat mengatur ke dalam (interne regelingen). Keempat, Tap MPRS/MPR bersifat  deklaratif. Kelima, Tap MPRS/MPR bersifat rekomendasi. Dan keenam bersifat perundang-undangan. Berdasarkan pengelompokan dalam pasal-pasal Tap MPR 1/2003 materi status hukum Tap MPRS/MPR terbagi menjadi beberapa status: Yakni, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; tetap berlaku dengan ketentuan; tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004; tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UU; tetap berlaku sampai dengan ditetapkan peraturan tata tertib yang baru oleh MPR hasil Pemilu 2004; dan dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum karena bersifat final telah dicabut.[79]

 

Rambe mantan Ketua Panitia Adhoc II Badan Pekerja MPR periode 2003-2004 itu menilai Tap MPRS/MPR masih berlaku merupakan produk hukum di bawah UUD 1945. Selain itu, Tap MPR/MPRS dijadikan sebagai panduan sumber hukum materil dan formil dalam proses pembuatan UU dan kebijakan lainnya. Hamdan Zoelva yang juga anggota Lembaga Pengkajian MPR itu berpendapat status Tap MPR yang hanya bersifat beschikking (keputusan/ketetapan).[80]

 

Kedudukan tugas dan wewenang UUD 1945 pasca perubahan dengan tidak berlakunya Ketetapan MPR, hal ini tidak berarti bahwa MPR tidak dapat lagi membuat sebuah Ketetapan, karena dalam keadaan tertentu MPR dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat Beschikking yaitu:

1.     Menetapkan wakil presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat lagi melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;

2.     Memilih wakil Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden

3.     Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat lagi melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.[81]

Bagir Manan, untuk menetapkan materi muatan yang tepat diatur MPR, perlu dihubungkan dengan DPR dan Presiden yang juga berwenang membentuk hukum peraturan. Materi muatan Ketetapan MPR lebih tepat jika dibatasi pada:

a.     Hal-hal yang bersangkutan dengan tugas, wewenang dan tanggungjawab lembaga negara;

b.     Garis-garis besar kebijakan untuk jangka waktu tertentu.[82]

Menurut Riri Nazriyah, kehadiran Ketetapan MPR dapat didasarkan pada dua hal yaitu ketentuan hukum yang tersirat dalam UUD 1945 dan dasar bentuk hukum TAP MPR yaitu praktik ketatanegaraan atau kebiasaan ketatanegaraan. Praktik atau kebiasaan ketatanegaraan merupakan salah satu sumber hukum tata Negara yang terdapat di setiap Negara. Pada dasarnya sistem ketatanegaraan Indonesia mengakui keberadaan praktik atau kebiasaan ketatanegaraan seperti yang disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945, yang berbunyi: Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu, Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis sedang disampingnya Undang-Undang dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis”[83]

Kamarul Zaman menyebutkan bahwa MPR masih bisa mengeluarkan atau membuat Tap MPR. Namun Tap MPR itu harus menyangkut beschikking. Dalam pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, MPR seharusnya mengeluarkan Tap MPR.  Hal ini akan memperkuat MPR menyangkut kewenangannya meski MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi.[84]

Maria Farida juga berpendapat MPR tetap bisa membuat dan mengeluarkan Tap MPR yang bersifat beschikking  mengenai pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Menurutnya, Ketetapan MPR tentang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih terdiri dari dua pasal. Pertama, pasal yang menyebutkan penetapan dan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Kedua, pasal tentang kapan mulai berlakunya ketetapan itu. MPR sebagai mewakili rakyat Indonesia, karena yang melakukan pemilihan presiden adalah rakyat. Selama ini presiden dan wakil presiden yang terpilih tidak memiliki Tap MPR untuk pelantikan. Selama ini hanya ada berita acara pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Ketika ada Impeachment terhadap presiden.[85]

Menurut Jimly Asshiddiqie, kedudukan MPR menurut ketentuan UUD 1945 pasca amandemen sudah mengalami perubahan mendasar maka seperti dikemukakan di atas ia tidak lagi mengeluarkan produk hukum sebagaimana dikenal selama ini. Produk hukum MPR hasil Pemilu 2004, haruslah disesuaikan dengan ketentuan UUD 1945 setelah perubahan Keempat tahun 2002 tersebut. Dimana MPR tidak boleh dan tidak akan lagi menetapkan produk hukum yang bersifat ‘mengatur’ (regeling), kecuali dalam bentuk UUD atau Perubahan UUD. Namun, kewenangan MPR untuk mengeluarkan produk hukum yang tidak bersifat mengatur masih tetap dapat dipertahankan. Misalnya, MPR dapat saja menetapkan:

a.     Ketetapan MPR yang merupakan baju hukum naskah Perubahan UUD sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 37 UUD 145;

b.      Ketetapan MPR yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah resmi sebagai Presiden sejak pengucapan sumpah/janji jabatannya di hadapan Sidang MPR, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUD 1945.

c.     Ketetapan MPR yang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya sesuai dengan ketentuan pasal 3 ayat (3) jo Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945.

d.      Ketetapan MPR yang menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (2) dan (3). [86]

Kedudukan Tap MPR tidak bisa dipisahkan dengan Kedudukan dan Kewenangan MPR dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD 1945 pasca reformasi membawa konsekuensi terhadap kedudukan serta kewenangan yang melekat pada MPR. Perubahan paling penting terdapat pada bagian bentuk dan kedaulatan negara,. jika sebelum amandemen MPR diberi kewenangan untuk menetapkan GBHN maka pasca amandemen kewenangan tersebut tidak berlaku lagi.[87] Menurut Moh. Mahfud MD, pemosisian Tap MPR sebagai peraturan Perundang-undangan. menetapkan sebenarnya hanya dapat diartikan penetapan (beschikking) yang bersifat konkret individual.[88]

Menurut Jimly Asshiddiqie, semua bentuk ketetapan MPR tersebut hanya bersifat administratif dan tidak boleh lagi memuat norma-norma hukum yang bersifat mengatur (regeling). Produk MPR yang bersifat mengatur hanya dituangkan dalam bentuk UUD atau Perubahan UUD. Demikian pula dengan bentuk Ketetapan MPR tentang Peraturan Tata Tertib MPR yang ada selama ini juga tidak dapat lagi dipertahankan. Peraturan Tata Tertib biasanya dibenarkan untuk ditetapkan dengan alasan norma yang diatur bersifat internal (internal regelingen). Akan tetapi, dalam kenyataan praktek, peraturan tata tertib MPR itu juga berlaku mengikat keluar, karena itu, teori yang selama ini membedakan penggunaan istilah Ketetapan MPR yang berlaku keluar dan Keputusan MPR yang berlaku ke dalam, juga tidak dapat dipertahankan. Peraturan tata tertib mengikat keluar dan juga ke dalam, sehingga bentuk penuangannya selama ini juga dalam bentuk Ketetapan MPR, bukan Keputusan MPR. Dalam Hukum Administrasi Negara keputusan administrasi Negara seperti Ketetapan MPR tentang pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden dapat digolongkan sebagai beschikking dan bukan peraturan perundang-undangan. Namun karena MPR bukan termasuk administrasi Negara maka tidak mungkin menempatkan TAP MPR tentang Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden sebagai beschikking dalam arti sebagai salah satu bentuk keputusan administrasi Negara.[89]

Harun Al-Rasyid menegaskan bahwa Tap MPR tidak bisa dijadikan sebagai pengaturan perundang-undangan atau memuat yang bersifat regelling (Pengaturan). Lebih lanjut mengatakan bahwa Tap MPR boleh saja ada sebatas penetapan beschikking.[90]

Bagir Manan mengemukakan bahwa kehadiran lebih lanjut dari Ketetapan MPR sebagai peraturan perundang-undangan tergantung pada keberadaan MPR, jika terjadi perubahan badan perwakilan menjadi sistem dua kamar maka Ketetapan MPR dengan sendirinya akan hapus. Pada dasarnya ketetapan MPR hanya terbatas pada wewenang MPR yang secara tegas disebutkan dalam UUD. Jika dalam wewenang ini tidak ada yang dapat diatur sebagai peraturan perundang-undagan maka ketetapan MPR tidak akan ada dalam sistem peraturan perundang-undangan. [91]

Menurut Teori Logemann Secara teoritik negara adalah Organisasi jabatan de staat is ambtenorganisatie), jabatan adalah lingkungan perkerjaan tetap kring van vastewerkzaamheden yang dilekati tugas dan kewenangan. Tugas dan kewenangan yang melekat pada jabatan itu dilaksanakan oleh fungsionaris. MPR merupakan salah satu jabatan kenegaraan, yang dilekati wewenang berdasarkan UUD. Kewenangan tersebut dilaksanakan dalam bentuk tindakan-tindakan oleh pimpinan dan para anggota MPR selaku fungsionaris jabatan MPR. Ketika tindakan-tindakan itu dituangkan dalam bentuk tertulis, bentuknya dapat berupa peraturan, keputusan, ataupun ketetapan MPR.[92]

Secara redaksional, yang digunakan adalah Ketetapan MPR, yang mengandung makna hasil tindakan MPR yang berupa penetapan beschikking, yakni “de wilsverklaring van een staatsorgan voor een bijzondergeval” (pernyataan kehendak organ kenegaraan terhadap peristiwa spesifik). Dalam hal ini, kewenangan MPR merupakan tindakan penetapan MPR hanya berlaku dalam hal menetapkan UUD, mengangkat dan memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden. Hakikatnya materi muatan Ketetapan MPR hanya berupa penetapan keberlakuan UUD, penetapan pengangkatan Presiden dan atau Wakil Presiden, dan Penetapan Pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden.[93]

Dilihat dari histori, sebagaimana yang dikemukakan diatas Ketetapan MPR digunakan untuk menampung hal-hal penting dan mendasar bagi bangsa dan negara ini yang merupakan hasil sidang MPR yang tidak memerlukan pembahasan secara intens antara wakil-wakil rakyat dengan pihak eksekutif ditampung dalam Undang-Undang serta yang tidak memungkinkan dimasukkan dalam UUD. Ketetapan MPR adalah suatu putusan lembaga negara yang penting dan pokok. Materi yang ada didalamnya juga mencerminkan kandungan yag sangat substansial dan urgen. Ketetapan MPR tersebut, haruslah hanya terjadi dalam waktu-waktu tertentu yang tidak terlalu sering dan kriteria yang diberikan terkait urgensi pada sebuah Ketatapan MPR yang akan meminimalisir subyektifitas dalam menetapkannya.[94]

Selama lima tahun jabatannya, kewenangan MPR nyaris hanya melakukan sidang istimewa satu kali juga saat melakukan pelantikan kepada Presiden. Padahal MPR memiliki keorganisasian tersendiri dan gedung yang sangat megah, namun agenda rutinnya setiap tahun hanya melakukan sosialisasi terhadap Pancasila saja. Pasca amandemen UUD 1945, lembaga negara pada kedudukan yang sama dan sejajar, menjadikan praktek ketatanegaraan kerapkali terjadi persinggungan yang berujung pada konflik berkepanjangan karena tidak ada lembaga yang supreme sehingga tidak ada yang memiliki wewenang untuk menyelesaikan konflik horizontal. [95]

Keberadaan Tap MPR pada prinsipnya berkorelasi dengan kedudukan dan wewenang MPR itu sendiri. Kewenangan yang dimiliki oleh MPR adalah bentuk kewenangan yang bersifat atributif oleh karenanya bersumber secara langsung dari UUD 1945. Mengacu pada kewenangan yang dimiliki MPR melaksanakan rangkaian kewenangannya itu tanpa dipayungi oleh sebuah landasan hukm yang dibuat terlebih dahulu. Oleh sebab itu, sangat beralasan secara hukum untuk menegaskan bahwa MPR pasca amandemen 1945 masih tetap relevan untuk dibentuk. Hanya saja istilah “Ketetapan MPR” (Tap MPR) sebaiknya diganti menjadi “Keputusan MPR”. Menurut Muchsan bahwa sebutan produk “Keputusan MPR” lebih tepat agar dibedakan dengan produk-produk regelling yang bersifat mengatur abstrak dan mengikat secara umum. Sehingga Keputusan MPR merupakan produk beschikking yang bersifat penetapan administratif, individual dan konkrit semata.[96]

Keputusan MPR dibentuk dalam menjalankan kewenangan konstitusional yang dimiliki MPR. Sedangkan Ketetapan MPR adalah putusan MPR yang memiliki ciri:

a.     Hal yang bersifat penetapan beschikking

b.     Mempunyai kekuatan hukum mengikat kedalam dan ke luar MPR sesuai dalam Tap MPR No.I/MPR/2003

c.     Menggunakan nomor putusan MPR. Yang dimaksud dengan Keputusan MPR adalah jenis putusan MPR yang bercirikan:

1.     Berisi aturan atau ketentuan Internal MPR

2.     Mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam MPR

3.     Menggunakan nomor Putusan MPR[97]

Penggunaaan nomenklatur “Putusan MPR” diganti dengan sebutan “Jenis Produk Hukum MPR”. Oleh karenanya, jenis putusan MPR tidak perlu dibagi menjadi tiga jenis putusan cukup dua jenis putusan MPR yakni:

1.     Keputusan MPR

2.     Peraturan MPR.

Secara substansial, Keputusan MPR harus mengandung ciri-ciri sebagai berikut:

a.     Berisi hal-hal yang bersifat penetapan beschikking

b.     Dibuat rangka melaksanakan segala kewenangannya

c.     Mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam dan ke luar MPR

d.     Menggunakan nomor putusan MPR.[98]

Sebagaimana diuraikan diatas, produk hukum MPR dalam bentuknya ketetapan, karena memiliki kualifikasi tersendiri berupa:

1.     Tap MPR isi/materi  dan sifatnya bersifat tertulis, umum, dan dibentuk oleh lembaga yang berwenang dan bersifat mengatur secara umum.

2.     Tap MPR bukan yang dimaksudkan dalam bentuk penetapan yang memiliki konsekuensi konkret-individual layaknya keputusan yang bersifat penetapan (beschikking) seperti dalam keputusan administrasi negara.[99]

Menurut Jimly Asshiddiqie, Eksistensi lembaga MPR, bisa terjadi ketika menghasilkan produk-produk untuk menjalankan kewenangannya. Meskipun di atas kertas MPR itu sebagai lembaga negara memang terus ada, tetapi dalam arti yang aktual atau nyata, MPR itu sendiri sebenarnya baru dapat dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau fungsinya sedang dilaksanakan (in action). Sifat pekerjaan MPR dikatakan ad hoc karena, berdasarkan kewenangan yang dimilikinya, satu-satunya kewenangan MPR yang bersifat rutin dan dapat direncanakan adalah kegiatan persidangan untuk pelantikan Presiden dan Wakil Presiden setiap lima tahunan. [100]

Sidang MPR untuk pelantikan Presiden dan Wakil Presiden itu sendiri bersifat fakultatif. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat. Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.[101]

Kewenangan MPR yang selama ini diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membelenggu lembaga MPR, karena MPR tidak mempunyai kewenangan rutin kecuali dalam acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum setiap 5 (lima) tahun sekali. [102]

Menurut Penulis, Eksistensi Lembaga Negara MPR bisa terlihat jika kewenangan dalam hal melantik Presiden untuk mengangkat Presiden dan Wakil Presiden terpilih terdapat Ketetapan MPR yang bersifat beschikking sebagai aturan dasar hukum Presiden dan Wakil Presiden terpilih dengan jabatan 5 tahun pada waktu tertentu. Sehingga Kewenangan MPR juga diperluas sebagai bentuk Pertanggungjawaban sidang Tahunan MPR ketika melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

Perbandingan Negara Lain terkait dengan Pegangkatan Presiden dan Wakil Presiden terpilih

a.     Amerika Serikat

Proses pemilihan Presiden di Amerika serikat dilakukan oleh “elector” dan kemudian elector inilah yang memberikan suara (electoral votes) kepada calon presiden.  Atau disebut Electoral college atau dengan Proses tidak langsung dengan menang kandidat harus mendapat minimal 270 electoral votes. pengangkatan Presiden seperti halnya dilakukan di Hari pelantikan yang terjadi setiap empat tahun sekali Pengambilan sumpah dilakukan di Gedung Capitol, Washington, DC. Wakil presiden terpilih adalah yang pertama diambil sumpahnya, setelah itu sekitar tengah hari baru presiden terpilih dilantik dan melakukan sumpah jabatan.[103]

b.     Brazil

Menurut Konstitusi Federal Brazil, pengambilan sumpah jabatan konstitusional di hadapan sidang gabungan Kongres Nasional. Upacara lain, seperti parade menjelang kedatangan presiden terpilih di Kongres, pemindahan selempang presiden dari mantan presiden ke pemegang kantor yang baru, dan resepsi presiden pada malam hari juga berlangsung di kasus pelantikan yang direncanakan.[104] Pasal 78 Konstitusi mengatur bahwa "Presiden dan Wakil Presiden Republik akan memangku jabatan mereka di sidang Kongres Nasional, dengan mengambil janji untuk mempertahankan, mempertahankan dan menegakkan Konstitusi, mengamati Undang-Undang, mempromosikan umum kesejahteraan rakyat Brasil, dan untuk mempertahankan persatuan, integritas, dan kemerdekaan Brasil "( O Presidente eo Wakil Presiden da República tomarão posse em sessão do Congresso Nacional, prestando o compromisso de manter, pembela dan cumprir a Constituição, pengamat sebagai leis, promo o bem geral do povo brasileiro, sementara sebuah união, sebuah integridade ea independência do Brasil ).[105]

 

BAB IV

 PENUTUP

C.    SIMPULAN

1.     Kewenangan MPR dalam pembentukan Ketetapan sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih mengalami perbedaan bahwasannya sebelum perubahan UUD 1945, MPR berwenang menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara sebagai  Pembangunan Lima Tahun (GBHN) yang dituangkan dalam Ketetapan MPR sehingga Tata cara pemilihan Presiden dilakukan terpisah sesuai dengan Ketetapan MPR Ketetapan MPR No. II/MPR/1973  tentang tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara terpisah kemudian pengangkatan  menjadi Presiden dan Wakil Presiden melalui satu Ketetapan MPR. Sesudah perubahan UUD 1945, kewenangan MPR dalam menghasilkan Produk hukum Ketetapan yang bersifat Regelling sudah tidak lagi berlaku, tetapi penetapan yang bersifat beschikking masih bisa dilakukan. Kewenangan MPR dalam hal pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden MPR saat ini hanya melakukan pelantikan presiden dan wakil presiden yang terpilih tidak memiliki Tap MPR. Selama ini hanya ada berita acara pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Karena berita acara pelantikan tidak mempunyai legalitas sebagai produk perundang-undangan.

2.      Urgensi Ketetapan MPR yang bersifat beschikking tentang  pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden terpilih  sudah sangat urgen. Melihat  kewenangan MPR yang satu-satunya bersifat rutin dan dapat direncanakan lima tahunan. Walaupun terdapat pengaturan mengenai Pengucapan sumpah janji presiden dapat dilakukan dihadapan atau didalam sidang MPR atau sidang DPR dengan kata lain, dengan kata lain tidak ada satu pun keempat kewenangan MPR bersifat tetap, sehingga memerlukan alat-alat perlengkapan organisasi yang juga bersifat tetap. Artinya MPR sendiri harus lah mengeluarkan produk Undang-Undang yaitu ketetapan MPR yang bersifat beschikking agar lembaga MPR tidak hanya menjadi tuan rumah saja dalam hal, pelantikan presiden dan wakil presiden harus terdapat hasil dari lembaga tersebut terhadap agenda pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih. Eksistensi Lembaga MPR akan sangat terlihat ketika Presiden dalam hal mengangkat Presiden dan Wakil Presiden mengeluarkan Ketetapan MPR maka dari itu diperlukan perluasan kewenangan MPR sebagai bentuk Pertanggungjawaban sidang Tahunan MPR ketika melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

 

D.    SARAN

1.     Amandemen Kelima UUD 1945, mengenai kewenangan MPR dalam hal mewajibkan mengeluarkan Produk Hukum Ketetapan yang bersifat Beschikking tentang Pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.

2.     Seharusnya Lembaga MPR,  dalam hal melakukan kewenangan  Melantik Presiden dan Wakil Presiden diberikan Perluasan kewenangan di Undang-Undang yang mengatur Lembaga MPR.

 

 

Pertanyaan untuk Pemateri makalah ini:

1.     Sirtatul Laili: Saya tertarik dengan pemaparan lembaga MPR, dan saya ingin bertanya:  Jika ingin memperluas kewenangan MPR, Apakah ada konsekuensi yg terjadi ketika lembaga MPR tidak membuat  ketetapan yg bersifat beschikking tentang pengangkatan presiden dan wapres terpilih.

2.     Suci Monawati : Kalau kita lihat pemaparan tadi, bahwasannya terdapat perbedaan sebelum dan sesudah amandemen UUD 45 dalam hal pengangkatan Presiden. Apakah ketetapan MPR yang untuk pengangkatan presiden jika di buat saat ini akan merubah kembali  kewenangan dalam pemilihan Presiden yang dipilih oleh MPR?

Jawaban dari Pemateri:

1.     Agnes Fitryantica kepada Sirtatul Laili: Konsekuensi apabila MPR tidak membuat Ketetapan untuk Pelantikan, kemungkinan ketika terjadi  Impeachment terhadap Presiden, Bagaimana bisa dilakukan Impeachment tersebut kendatipun saat ini hanya berita acara pelantikan yang tidak memiliki legalitas. Oleh sebab itu, Perlu Ketetapan MPR untuk pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

2.     Agnes Fitryantica kepada Suci Monawati : Ketetapan MPR jika dibuat saat ini, apakah akan merubah kembali kewenangan MPR dalam pemilihan Presiden, tentu saja tidak. Kewenangan rutin tiap tahunnya MPR tetap hanya Melantik Presiden dan Wakil Presiden saja, Ketetapan MPR dibuat sebagai Produk ketika agenda Pelantikan. Tanpa pengembalian kewenangan MPR, pemilihan Presiden tidak akan merubah status Pemilihan Presiden yang dipilih oleh Rakyat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Abdurahman , Ali. et. all., Buku Ajar Ilmu Perundang-Undangan, Kalam Media, Bandung, 2015

Abu Bakar, Irfan. dkk, Efektivitas Pelaksanaan Sosialisasi Empat Pilar dan Ketetapan MPR RI, Persepsi Publik tentang Ketatapan MPR RI, Jakarta: Badan Pengkajian MPR RI, 2018.

Akbar, Patrialis. Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD NRI 1945, Jakarta: SINAR GRAFIKA, Cet. Pertama, 2013.

Al Atok,  Rosyid.  Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Malang: Setara Press, 2015).

Asshiddiqie,  Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006,

___________. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

___________. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,  Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer, 2007.

___________.Perihal Undang-Undang, Depok: RajaGrafindo Persada, Cet.3, 2010.

Batubara, Cosmas. Mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Produk-Produknya, Jakarta:Yayasan Aistrokrasi, 1992

Erlina, Positioning Kelembagaan MPR sebagai Pemegang Mandat Rakyat, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015.

Farida,  Maria. Ilmu Perundang-Undangan 1 (Jenis, Fungsi, danMateri Muatan), Kansius, Yogyakarta, 2007.

Heryansah, Despan. Reformasi Ulang Kedudukan MPR dan Gagasan Pengujian Tap MPR, Penegasan Pemilihan Materi Muatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Undang-Undang, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015.

Huda,  Ni’matul. Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Cet.1, FH UII Press, Yogyakarta, 2015.

Indra,  Muhamad Ridhwan . MPR Selayang Pandang, Jakarta: CV. HAJI MASAGUNG, 1988.

Kusnadi, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. Ke-6, 2016.

 

Moh, Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta:RAJAGRAFINDO, Cet.3, 2016.

Monteiro,  Josef M. Lembaga-Lembaga Negara setelah Amandemen UUD 1945, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2014.

Puspitasari, Sri Hastuti. Kedaulatan Rakyat, MPR dan Ketetapan MPR, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015.

Rido, Ali. Kajian Kritis Kedudukan Ketetapan MPR dan Gagasan Arah Materi Muatannya di Masa Mendatang, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015.

Ridwan, Eksistensi dan Problematika Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015.

Sagala, Budiman B. Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia,1981

Saifudin & Dessy Ariani, Kajian Yuridis Eksistensi dan Materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Hierarki Perundang-Undangan di Indonesia, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015.

Sulaiman,  King Faisal. Purifikasi Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Amandemen UUD 1945, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015.

Tambunan,  A.S.S. MPR Perkembangan dan Pertumbuhannya suatu Pengamatan dan Analisis, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1991).

Triyanta, Agus.  Urgensi Penegasan Pemilihan Materi Muatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Undang-Undang, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015.

Yuhana,  Abdy.Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Bandung: Fokusmedia, 2013).

 

 

JURNAL:

Aditya , Zaka Firma. dan M. Reza Winata, Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Jurnal Negara Hukum, Vol.9, No.1, Juni 2018.

Affandi, Hernadi . Prospek Kewenangan MPR dalam Menetapkan Kembali Ketetapan MPR yang Bersifat Mengatur, Jurnal Hukum Positum, Vol.1 No.1 Desember 2016.

Aziz,  HM. Beberapa Catatan Tentang Lahir Dan Kinerja Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 3 Nomer 6 September 2009

Hakim,  Lukman. Kewenangan Organ Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Jurnal Konstitusi, Vol.IV, No.1, Juni 2011.

Mas Ayani , Nyoman. & Bagus Hermanto, Gagasan Perluasan Lembaga Negara sebagai pihak pemohon dalam sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 16 No.2 Juni 2019.

Meilany,  Fitri. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia, Jurnal Lang Lex Administratum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/201.

Nazriyah,  R. Penguatan Peran Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Struktur Ketatangaraan Indonesia, ISSN:0125-9687, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.1 Januari-Maret 2017.

Rohmat, Ah. Mujib.Kedudukan dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Era Reformasi, Jurnal Pembaharuan Hukum Vol. III Nomer  2 Mei-Agustus 2016.

Tutik,  Titik Triwulan. Analisis Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPR RI Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, No.1 Vol.20 Januari 2013.

Wicaksono, Dian Agung . Implikasi Re-Eksistensi Tap MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan terhadap Jaminan atas Kepastian Hukum yang adil  di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 1, Maret 2013.

Widayati, Absori & Aidul Ftriciada Azhari, Rekonstruksi Kedudukan Ketetapan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia , Jurnal Media Hukum,Vol. 21, No.2, Desember 2014.

Widayati, Rekonstruksi Kelembagaan MPR¸ Jurnal Pengembangan Epistemonologi Ilmu Hukum dalam Prosiding Ilmu Hukum, ISBN 978-602-72446-0-3.

 

PERUNDANG-UNDANGAN:

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

 

Indonesia, Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 6396

 

 

INTERNET:

 

Arbaben,  Agus Rohny. Kedudukan Undang-undang dan TAP MPR dalam sistem hukum Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Kompasiana: 26 Mei 2017, https: //www.kompasiana.com/ roniarbaben/ 592677668623bd0b074b3328 /kedudukan-undangundang -dan-tap-mpr-dalam-sistem-hukum-indonesia-berdasarkan-undangundang-nomor-12-tahun-2011-tentang-pembentukan-peraturan-perundangundangan.

Hamzah, Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia, July 12, 2013, https://www.herdi.web.id/kedudukan-tap-mpr-dalam-sistem-perundang-undangan-indonesia/.

Kabar MPR, MPR bisa mengeluarkan Tap MPR Penetapan Presiden Terpilih, Kompas.com, 18 Agustuss 2018, https://biz.kompas.com/read/2018/08/18/202340228/mpr-bisa-mengeluarkan-tap-mpr-penetapan-presiden-dan-wakil-presiden-terpilih.

Redaksi Hukum Online, MPR Bisa Mengeluarkan Tap MPR Penetapan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih,  dalam Sarasehan “Memperkuat Status Hukum Ketetapan MPR dan MPRS dalam Sistem Hukum Indonesia” di Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen Jakarta, https:/ /www.hukumon line.com/beri ta/baca/lt5b781 1b23f49/mpr-bisa-mengeluarkan-tap-mpr-penetapan-presiden-dan-wakil-presiden-terpilih/, Sabtu, 18 Agustus 2018.

Tallo,  Juhan. Ruang Rapat Paripurna I dengan Bendera Merah Putih di kompleks Parlemen MPR-DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (16/10/2019). Ruang paripurna DPR tampak dihias menjelang pelantikan presiden dan wapres terpilih pada 20 Oktober mendatang, https://www.liputan6.com/news/read/4089301/ini-rangkaian-acara-pelantikan-presiden-wakil-presiden-20-oktober-nanti, diakses 15 Februari 2020.

Taufiqurrahman, Amandemen UUD Negara RI  Tahun 1945 Menghasilkan Sistem Checks And Balances Lembaga Negara, https://pkh.komisiyudisial.go.id/files/Karya%20Tulis-Taufiqurrohman%2001.pdf.

Tempo.co, MPR Bisa Keluarkan Tap MPR Penetapan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, 18 Agustus, 2018,  https://nasional.tempo.co/read/1118346/mpr-bisa-keluarkan-tap-mpr-penetapan-presiden-dan-wakil-presiden-terpilih/full&view=ok.

Tim Redaksi Kompas, MPR Bisa Mengeluarkan Tap MPR Penetapan Presiden dan Wakil PresidenTerpilih", https://biz.kompas.com/read/2018/08/18/202340228/mpr-bisa-mengeluarkan-tap-mpr-penetapan-presiden-dan-wakil-presiden-terpilih, Kompas.com, 18 Agustus 2018, diakses pada tanggal 29 Maret 2020.

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Ah. Mujib Rohmat, Kedudukan dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Era Reformasi, Jurnal Pembaharuan Hukum Vol. III Nomer  2 Mei-Agustus 2016, h. 182

[2] HM Aziz, Beberapa Catatan Tentang Lahir Dan Kinerja Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 3 Nomer 6 September 2009,  h. 15

[3] Rosyid Al Atok, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Malang: Setara Press, 2015), h.59

[4] Rosyid Al Atok, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, h. 61

[5] Rosyid Al Atok, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Malang: Setara Press, 2015), h. 61

[6] Rosyid Al Atok, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, (Malang: Setara Press, 2015), h. 60

[7] Taufiqurrahman, Amandemen UUD Negara RI  Tahun 1945 Menghasilkan Sistem Checks And Balances Lembaga Negara, https://pkh.komisiyudisial.go.id/files/Karya%20Tulis-Taufiqurrohman%2001.pdf, h. 5

[8] Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Bandung: Fokusmedia, 2013), h. 150

[9] A.S.S. Tambunan,  MPR Perkembangan dan Pertumbuhannya suatu Pengamatan dan Analisis, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1991), h.267

[10] Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, h. 149

[11] A.S.S. Tambunan, MPR Perkembangan dan Pertumbuhannya suatu Pengamatan dan Analisis, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1991), h. 267

[12] A.S.S. Tambunan, MPR Perkembangan dan Pertumbuhannya suatu Pengamatan dan Analisis, h. 268

[13] A.S.S. Tambunan, MPR Perkembangan dan Pertumbuhannya suatu Pengamatan dan Analisis, h. 282

[14]  Juhan Tallo, Ruang Rapat Paripurna I dengan Bendera Merah Putih di kompleks Parlemen MPR-DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (16/10/2019). Ruang paripurna DPR tampak dihias menjelang pelantikan presiden dan wapres terpilih pada 20 Oktober mendatang, https://www.liputan6.com/news/read/4089301/ini-rangkaian-acara-pelantikan-presiden-wakil-presiden-20-oktober-nanti, diakses 15 Februari 2020, pkl. 21.54.

[15] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, h.27

[16]  Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h.27

[17]  Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h.29

[18] Hernadi Affandi, Prospek Kewenangan MPR dalam Menetapkan Kembali Ketetapan MPR yang Bersifat Mengatur, Jurnal Hukum Positum, Vol.1 No.1 Desember 2016, h. 42

[19]  Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h.30

[20] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h.31

[21] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h.33

[22]  Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h.36

[23] Eka Nam Sihombing, Hukum Kelembagaan Negara, Cet. 1, (Yogyakarta: Ruas Media, 2018), hlm. 3

[24] Ibid., hlm. 4

[25] Ibid., hlm. 5

[26] Nyoman Mas Ayani & Bagus Hermanto, Gagasan Perluasan Lembaga Negara sebagai pihak pemohon dalam sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 16 No.2 Juni 2019, h. 180

[27] Nyoman Mas Ayani & Bagus Hermanto, Gagasan Perluasan Lembaga Negara sebagai pihak pemohon dalam sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 16 No.2 Juni 2019, h. 181

[28] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, h. 37

[29] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2016,  h. 1-12

[30] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, h. 43-44

[31] Josef M. Monteiro, Lembaga-Lembaga Negara setelah Amandemen UUD 1945, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2014, h. 2

[32] Josef M. Monteiro, Lembaga-Lembaga Negara setelah Amandemen UUD 1945, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2014, h.3

[33]   Kusnadi, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. Ke-6, 2016,h.58

[34] Lukman Hakim, Kewenangan Organ Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Jurnal Konstitusi, Vol.IV, No.1, Juni 2011, h.107

[35] R. Nazriyah, Penguatan Peran Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Struktur Ketatangaraan Indonesia, ISSN:0125-9687, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-47 No.1 Januari-Maret 2017, h.46-47

[36] Ah. Mujib Rohmat , Kedudukan Dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Era Reformasi, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume III, No. 2 Mei - Agustus 2016, h.184

[37] Ah. Mujib Rohmat , Kedudukan Dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Era Reformasi, Jurnal Pembaharuan Hukum, Volume III, No. 2 Mei - Agustus 2016, h.186

[38] Widayati, Rekonstruksi Kelembagaan MPR¸ Jurnal Pengembangan Epistemonologi Ilmu Hukum dalam Prosiding Ilmu Hukum, ISBN 978-602-72446-0-3, h.205

[39] Widayati, Rekonstruksi Kelembagaan MPR, h. 206

[40] Zaka Firma Aditya dan M. Reza Winata, Rekonstruksi Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, Jurnal Negara Hukum, Vol.9, No.1, Juni 2018, h. 91

[41] Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,  Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer, 2007, h.226

[42] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, h. 334-339

[43] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Depok: RajaGrafindo Persada, Cet.3, 2010, h. 36

[44] Budiman B. Sagala, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia,1981,  h. 110

[45] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan  dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, h. 126

[46] Sri Hastuti Puspitasari, Kedaulatan Rakyat, MPR dan Ketetapan MPR, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015, h. 9

[47] Budiman B. Sagala, Tugas dan Wewenang MPR di Indonesia, Jakarta:Ghalia Indonesia,1981, h.89

[48] Muhamad Ridhwan Indra, MPR Selayang Pandang, Jakarta: CV. HAJI MASAGUNG, 1988, h. 56-58

[49] Muhamad Ridhwan Indra, MPR Selayang Pandang, Jakarta: CV. HAJI MASAGUNG, 1988, h. 61-62

[50] Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan 1 (Jenis, Fungsi, danMateri Muatan), Kansius, Yogyakarta, 2007, h. 72-73

[51] Titik Triwulan Tutik, Analisis Kedudukan dan Status Hukum Ketetapan MPR RI Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, No.1 Vol.20 Januari 2013, h. 6-7

[52] Ali Abdurahman et. all., Buku Ajar Ilmu Perundang-Undangan, Kalam Media, Bandung, 2015, h.122

[53] Hernadi Affandi, Prospek Kewenangan MPR dalam Menetapkan Kembali Ketetapan MPR yang Bersifat Mengatur, Jurnal Hukum Positum, Vol.1 No.1 Desember 2016, h. 43

[54] Cosmas Batubara, Mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Produk-Produknya, Jakarta:Yayasan Aistrokrasi, 1992, h.58

[55] Cosmas Batubara, Mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Produk-Produknya, Jakarta:Yayasan Aistrokrasi, 1992, h. 64

[56] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: diterbitkan atas kerja sama: Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2004), h. 133

[57] Erlina, Positioning Kelembagaan MPR sebagai Pemegang Mandat Rakyat, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015,  h.145

[58] Patrialis Akbar, Lembaga-Lembaga Negara menurut UUD NRI 1945, Jakarta: SINAR GRAFIKA, Cet. Pertama, 2013, h. 97

[59] Erlina, Positioning Kelembagaan MPR sebagai Pemegang Mandat Rakyat, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015, h. 146

[60] Ni’matul Huda, Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Cet.1, FH UII Press, Yogyakarta, 2015, hlm. 95

[61] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Cet.4, Ed.1, Rajawali Pers, Jakarta, 2017, hlm. 38

[62] Agus Rohny Arbaben, Kedudukan Undang-undang dan TAP MPR dalam sistem hukum Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Kompasiana: 26 Mei 2017, https: //www.kompasiana.com/ roniarbaben/ 592677668623bd0b074b3328 /kedudukan-undangundang -dan-tap-mpr-dalam-sistem-hukum-indonesia-berdasarkan-undangundang-nomor-12-tahun-2011-tentang-pembentukan-peraturan-perundangundangan, diakses pada 29 Maret 2020

[63] , Kedudukan TAP MPR Dalam Sistem Perundang-Undangan Indonesia, July 12, 2013, https://www.herdi.web.id/kedudukan-tap-mpr-dalam-sistem-perundang-undangan-indonesia/, diakses pada tanggal 29 Maret 2020.

[64] Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Press, Cet.Ke-3, 2013, h. 34

[65] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Depok: RajaGrafindo Persada, Cet.3, 2010, h. 36

[66] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Depok: RajaGrafindo Persada, Cet.3, 2010, h. 36

[67] Fitri Meilany, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Dalam Perundang-Undangan Di Indonesia, Jurnal Lang Lex Administratum, Vol.I/No.1/Jan-Mrt/2013 148, H.151

[68] Irfan Abu Bakar dkk, Efektivitas Pelaksanaan Sosialisasi Empat Pilar dan Ketetapan MPR RI, Persepsi Publik tentang Ketatapan MPR RI, Jakarta: Badan Pengkajian MPR RI, 2018, h.172

[69] Tim Redaksi Kompas, MPR Bisa Mengeluarkan Tap MPR Penetapan Presiden dan Wakil PresidenTerpilih", https://biz.kompas.com/read/2018/08/18/202340228/mpr-bisa-mengeluarkan-tap-mpr-penetapan-presiden-dan-wakil-presiden-terpilih, Kompas.com, 18 Agustus 2018, diakses pada tanggal 29 Maret 2020.

[70] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan  dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, h. 126

[71]Made Nurmawati,  Nengah Suantra dan Luh Gde Astaryani, Hukum Lembaga Negara, (Denpasar: Fakultas Hukum UNUD, 2017),  h. 4

[72]Ibid.,  h. 5

[73] Ibid., h. 17

[74] Hernadi Affandi, Prospek Kewenangan MPR dalam Menetapkan Kembali Ketetapan MPR yang Bersifat Mengatur, Jurnal Hukum Positum, Vol.1 No.1 Desember 2016, h. 43

[75] Dian Agung Wicaksono, Implikasi Re-Eksistensi Tap MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan terhadap Jaminan atas Kepastian Hukum yang adil  di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 1, Maret 2013, h. 150

[76] Dian Agung Wicaksono, Implikasi Re-Eksistensi Tap MPR dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan terhadap Jaminan atas Kepastian Hukum yang adil  di Indonesia, h. 151

[77]Cosmas Batubara, Mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Produk-Produknya, Jakarta:Yayasan Aistrokrasi, h. 69-103

[78] Cosmas Batubara, Mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Produk-Produknya, Jakarta:Yayasan Aistrokrasi, h. 136-192

[79] Cosmas Batubara, Mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Produk-Produknya, Jakarta:Yayasan Aistrokrasi, h. 41

[80] Redaksi Hukum Online, MPR Bisa Mengeluarkan Tap MPR Penetapan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih,  dalam Sarasehan “Memperkuat Status Hukum Ketetapan MPR dan MPRS dalam Sistem Hukum Indonesia” di Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen Jakarta, https:/ /www.hukumon line.com/beri ta/baca/lt5b781 1b23f49/mpr-bisa-mengeluarkan-tap-mpr-penetapan-presiden-dan-wakil-presiden-terpilih/, Sabtu, 18 Agustus 2018, diakses pada tanggal 31 Maret 2020.

[81] Ni’matul Huda, Kedudukan dan Implikasi Yuridis Ketetapan MPR pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015, h. 77

[82] Ni’matul Huda, Kedudukan dan Implikasi Yuridis Ketetapan MPR pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, h. 78

[83] Meirina Fajarwati, Konstitutionalitas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Hukum & Pembangunan, 48 No.1 2018, ISSN:0125-9687, h.80

[84] Kabar MPR, MPR bisa mengeluarkan Tap MPR Penetapan Presiden Terpilih, Kompas.com, 18 Agustuss 2018, https://biz.kompas.com/read/2018/08/18/202340228/mpr-bisa-mengeluarkan-tap-mpr-penetapan-presiden-dan-wakil-presiden-terpilih, diakses pada tanggal 31 Maret 2020

[85] Tempo.co, MPR Bisa Keluarkan Tap MPR Penetapan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, 18 Agustus, 2018,  https://nasional.tempo.co/read/1118346/mpr-bisa-keluarkan-tap-mpr-penetapan-presiden-dan-wakil-presiden-terpilih/full&view=ok, diakses pada tanggal 31 Maret 2020.

[86] Meirina Fajarwati, Konstitutionalitas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Hukum & Pembangunan, 48 No.1 2018, ISSN:0125-9687, h.83

[87] Saifudin & Dessy Ariani, Kajian Yuridis Eksistensi dan Materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Hierarki Perundang-Undangan di Indonesia, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015, h.111

[88] Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta:Rajawali Pers, Cet. Ke-3, 2013, h.32

[90] Saifudin & Dessy Ariani, Kajian Yuridis Eksistensi dan Materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam Hierarki Perundang-Undangan di Indonesia, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015, h. 113

[91] Meirina Fajarwati, Konstitutionalitas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan, h.84

[92] Ridwan, Eksistensi dan Problematika Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015, h.91

[93] Ridwan, Eksistensi dan Problematika Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, h.93

[94] Agus Triyanta, Urgensi Penegasan Pemilihan Materi Muatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Undang-Undang, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015, h,135

[95] Despan Heryansah, Reformasi Ulang Kedudukan MPR dan Gagasan Pengujian Tap MPR, Penegasan Pemilihan Materi Muatan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan Undang-Undang, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015, h. 179

[96] King Faisal Sulaiman, Purifikasi Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Amandemen UUD 1945, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015, h.198-200

[97] King Faisal Sulaiman, Purifikasi Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Amandemen UUD 1945, h. 201

[98] King Faisal Sulaiman, Purifikasi Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Amandemen UUD 1945,  h. 202

[99] Ali Rido, Kajian Kritis Kedudukan Ketetapan MPR dan Gagasan Arah Materi Muatannya di Masa Mendatang, dalam buku: Problematika Ketetapan MPR dalam Perundang-undangan Indonesia, Yogyakarta:FH UII Press, 2015,  h. 238

[100] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, h. 127

[101] Widayati, Absori & Aidul Ftriciada Azhari, Rekonstruksi Kedudukan Ketetapan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia , Jurnal Media Hukum,Vol. 21, No.2, Desember 2014, h.273

[102] Widayati, Absori & Aidul Ftriciada Azhari, Rekonstruksi Kedudukan Ketetapan MPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia , Jurnal Media Hukum,Vol. 21, No.2, Desember 2014, h. 275.

[103] Redaksi Berita Satu, Presiden Amerika Tidak Dipilih Langsung, Begini Caranya, https://www.beritasatu.com/dunia/397806-presiden-amerika-tidak-dipilih-langsung-begini-caranya, diakses pada 13 Mei 2020, pkl. 6.20 WIB.

 

[104] BBC, “Presiden baru Brasil dilantik, pemimpin 'berhaluan kiri' Venezuela dan Kuba tidak diundang”https://www.bbc.com/indonesia/dunia-46732978, diakses tanggal, 17 Mei 2020

[105] Brazil, Konstitusi, Psl. 78

Komentar